GALERY KARMEL INDONESIA TIMUR

GALERY KARMEL INDONESIA TIMUR
SETITIK AWAN DARI TIMUR

Senin, 06 Februari 2012

(11) Innocentius Sigaze

(11) Innocentius Sigaze

WAWANCARA IMAJINER DENGAN ST. THERESIA LISIEUX


Wawancara Imaginer Dengan Therese de L’enfant Jesus


Innocens d Carvalho, O.Carm
SMAK Alvarez Paga


         

Tulisan ini saya tuangkan dalam bentuk wawancara imaginer dengan gaya agak relaks berinspirasi pada Novissima Verba, percakapan-percakapan terakhir menjelang kepergiannya ke Surga, dengan ibunda kecilnya Agnes a Jesu, Priorin Karmel, Pauline Martin. Di sana sini akan pembaca temukan beberapa kata dalam bahasa Latin yang familiar dalam komunitas religius. Tulisan ini secara spesial saya persembahkan untuk para Novis Karmel Weruoret yang memilih Teresia Lisieux menjadi pelindungnya. Pewawancara adalah Innocens (seterusnya J) dan Medemoiselle Martin (seterusnya M.M) yang diwawancarai.


Innocens:   
        Mademoiselle Martin, sejak anda masuk ke komunitas Karmel, Anda mendapat banyak assignments. Dalam situasi tertentu Anda “memilih” assignment khusus, seizin Priorin. Bolehkan Anda menceritakan tugas-tugas apa saja yang dipercayakan kepada Anda?

Madanmoiselle Martin:
        Tugas di ruang jahit. Saya juga menyapu tangga-tangga dan dormitorium, merawat taman bunga dan menyirami tanam-tanaman, membersihkan refectorium, meletakkan air minum dan bir di atas meja. Saya menjadi Sakristan, membantu rubiah procuratrix. Bila tak ada penugasan khusus, saya mengecat patung para malaikat di oratorium. Menjadi magistra novis, tanpa SK resmi.

J:     Banyak sekali yang harus Anda kerjakan! Anda enjoy dengan penugasan-penugasan itu?

M.M:          Jangan lupa, saya masih sangat muda waktu itu. Belum sweet seventeen, belum mengalami rendevouz, alias kencan. Dengan dispensasi Leo XIII saya boleh masuk biara Karmel pada usia 15 tahun. Saya harus belajar melakukan pekerjaan-pekerjaan itu dengan akurat, setia, dan dengan hati. Saya tak pernah menyerah pada rasa canggung. Saya harus katakan, saya belajar menjadi dewasa dan bertanggung jawab, walau itu berat. Ingat, sering saya ditugaskan bersama dengan rubiah-rubiah yang berkarakter sangat sulit, impulsif dan temperamental. Itu tidak gampang – ne pas facil. Toch, saya enjoy!

J:     Banyak rubiah mengatakan; “Madamoiselle Martin lamban, kurang fokus dan commited pada tugas opus manuale anda. Magistra anda marah, karena taman bunga disiram begitu-begitu saja; kerja anak kecil. Pauline Martin, ibunda kecil anda bersermon ria gara-gara kain taplak meja yang seharusnya ditambal, lama anda simpan dalam keranjang. Bagaimana anda menanggapinya?

M.M:  Tanggapan saya? Ah saya diam. Tak membela diri. Karena muda dan saya perempuan, saya menangis sejadi-jadinya. Walau demikian, saya menemukan kembali equilibrium. Saya gembira menemukan diri saya yang rapuh dan lemah dan jauh dari sempurna. Saya bangkit dan berjuang lagi. Saya bilang dengan bahasa anak muda zaman sekarang: “I’ll do my best”. Sudah saya katakan Innocens, saya perempuan perkasa, mulier fortis, lebih dari itu saya militer di baris depan, sampai tetes darah terakhir. Saya punya senjata: “Pedang Firman”. “Discite a Me, Quia mitis sum et humilis corde, et invenietis requiem animabus vestris”.

Belajarlah dari Aku, Aku lembut dan rendah hati. Jiwamu akan tenang dan damai. Jiwamu, jiwamu yang kecil, kecil, kecil.

J:         Madamoiselle Martin, anda masih sangat muda; untuk ukuran masa itu, anda seorang pemudi remaja, besar, tinggi. Katakan anda masih dalam proses pertumbuhan. Saat itu anda nampak sangat matang, melebihi madame berusia 50 tahun. Namun para rubiah meragukan kehebatan anda. Dari mana anda memperoleh kekuatan untuk terus bertahan, tegar?

M.M:  Crucifix, Yesus tersalib. Dialah yang minta pengorbanan saya. Demi dialah, yang ada di halaman tengah Karmel Lisieux, yang saya pendang lewat jendela kamar jahit dan yang dari sana memandang saya lewat kamar jahit, berkata: “Madamoiselle Martin, kau bilang kau cinta saya, buktikan cintamu. Kau cinta, kita saling pandang, pandang tak jemu. Intens mesra, mendalam. Wah mana tahan? Ku tak’ sanggup, tidak disalibkan bersama Dia. Il est mon seul Amour; jantung hatiku seorang.

J:         Excellent! Ada sebuah insiden yang menjadi sumber karunia yang besar bagi anda. Kejadian itu adalah inspirasi bahkan pesan untuk seluruh dunia. Masih ingat?

M.M:  Ya, ingat. Akan ada prosesi dalam komunitas. Maria dari Ekaristi mau menyalakan lilin-lilin yang akan digunakan dalam perarakan. Namun sial. Tidak ada korek api. Vous-vous imaginez! Cuma ada pelita kecil di depan reliquiarum. Sumbunya tinggal sepenggal kecil dan nyalanya pudar hampir mati. Ekaristi berhasil menyalakan lilinnya dari nyala yang hampir padam itu, dan dengan itu semua lilin komunitas.

J:         Anda kelihatan berseri-seri. Wajah anda berbinar-binar. Ada yang menarik dari kejadian ini?

M.M:  Benar! Sumbu kecil pudar nyala, dapat menciptakan cahaya hebat dahsyat dalam komunits, bahkan bisa membuat seluruh dunia bercahaya. Nyala-nyala besar itu datang dari sebuah lampu kecil yang diam membisu. Bisahkah nyala-nyala benderang itu

bercongkak-congkak, melahirkan api, sedang mereka sendiri bercahaya, berkat sepercik nyala dari sumber dian yang nyaris padam?

J:         Magnifique! Anda seniman, cerdas, intelligente! Bisahkah membagi-bagi inspirasi dari kejadian ini untuk kami?

M.M:  Anda tahu Persekutuan Para Kudus? Begitulah halnya dengan communio sanctorum. Sangat sering tanpa kita ketahui dan sadari rahmat, berkat, cahaya yang kita terima datang dari sebuah jiwa yang tersembunyi.

J:         Sebuah jiwa yang tersembunyi? Analog dengan lampu kecil dekat reliquiarum yang terpuruk dari perhatian orang?

M.M:  Sebenarnya anda sendiri sudah menjawab pertanyaan anda. Begini! Kehendak Tuhan, para kudus saling memberi berkat melalui doa yang dipanjatkan dengan cinta yang besar, dengan cinta yang bahkan jauh lebih besar daripada cinta dalam sebuah keluarga karena ikatan darah; bahkan dalam keluarga yang paling sempurna di dunia. Hemat saya, semua berkat telah saya, anda, terima dari orang yang memohonnya kepada Tuhan untuk saya, anda, kita. Orang itu hanya akan saya kenal di surga. Anda pun akan mengenalnya – dari muka, ke muka – vis-a-vis. Anda akan mengenal saya di sana, di langit biru, surga, dalam istilah saya. Hebat, bukan?

J:         Madamoiselle, kita kembali ke nyala pudar dari sumbu pendek lampu kecil tadi. Bisa dibilang, sepercik cahaya kecil bisa melahirkan Cahaya Besar dalam Gereja. Pujangga Gereja, Para Martir, mereka pasti lebih tinggi dan benderang di Surga dari sepercik cahaya kecil tadi. Kemuliaan mereka, juga kemuliaan kita?

M.M:  Betul, betul, betul!!! Di Surga kita akan berjumpa satu dengan yang lain. Kita saling pandang; tak jemu, intens mesra, mendalam. Bukan pandangan acuh tak acuh indifferent. Kita para pilihan, kita saling berhutang budi. Cinta kasih jadi mahkota, tiada iri tiada cemburu, tiada kolusi, korupsi, nepo-nepo, hehehe;

J:         Anda periang-penuh humor, jenaka. Kata para rubiah Karmel Lisieux, rekreasi komunitas Karmel Lisieux pasti sepi bila anda absent. Berkenaan, excusez moi dengan kondisi anda yang sakit parah kini, apakah anda ingat kejadian-kejadian lucu yang kira-kira relevant dengan kondisi kesehatan anda? Bisa anda share? S,il vouz plait!

M.M:  Oh, banyak, tak bisa diceritakan seluruhnya. Dengar baik-baik. Saya ingat, saat kami tinggal di Les Buisonnets, seorang tetangga kecil kami berusia 3 tahun, mendengar dirinya dipanggil oleh teman-temannya yang lain. Dia bilang kepada ibundany; “Mamman, mereka cari saya! Kumohon Mamman, izinkan saya pergi! Mereka cari saya!”. Saya sendiri merasa hari itu, para malaikat kecil memanggil saya. Bagai gadis 3 tahun itu, saya bilang kepada “ma Petite Mamman” Pauline, “izinkan saya pergi! Mereka cari saya! Suara mereka tidak saya dengar, saya rasakan”.

J:         Sering, Anda omong soal Pencuri, Madamoiselle. Apa isu tentang Pencuri itu menarik?

M.M:  Saya sakit berat. Tuberculosis akut. Organ-organ internal, intestine, paru-paru, ginjal sudah tak fungsi. Situasi itulah yang membuat saya kembali ke Injil yang berkata,  Tuhan akan datang bagai seorang Pencuri. Dia akan datang mencuri saya dengan amat lembut. Ah, saya sangat senang membantu Pencuri itu.

J:         Kok bisa, ya, itu lucu amat. Biasanya orang takut akan Pencuri, Madamoiselle Martin, Anda???

M.M:  Anda bisa bilang saya tak normal. Ya dari sudut logika barangkali. Namun dalam situasi kritis, kesehatan saya yang turun drastis, saya sangat logis dan sistematis. Anda memandang dengan mata manusia, saya dengan mata kontemplatif, mata Allah, mata yang diterangi iman. Lebih nyaman Pencuri itu datang mengambil saya dalam usia 24 tahun. Garansinya mantap, kediaman saya sudah ia siapkan. Ia cuma turun, mengambil, membawa saya ke sana! Manja sekali pencuri itu. Penderitaan saya lenyap. Air mata saya disekaNya. Memang, seribu tahun sama dengan bayang-bayang lalu, di mata Tuhan.

J:         Sebuah ide brilliant. Terus……

M.M:  Saya sangat hati-hati. Saya tak mau berteriak; “Tolong!! Pencuri!! Sebaliknya, Dia saya lihat di kejauhan. Saya bilang; “Hey Pangeran! Ke siniiii…!!! Ayo, kemari! Kemarilah, Pangeranku!!

J:         Masih anda ingat kejadian tanggal 13 Juni 1897? Hal itu dicatat oleh ibunda kecil anda, Pauline.

M.M:  Ya, belum lupa! Saya bilang pada ibunda, saya ingat akan sehelai kain yang dibentangkan pada sebuah bingkai untuk disulam. Lalu tak seorangpun muncul untuk menyulamnya. Saya tunggu dan tunggu! Ah, tak ada gunanya! Tapi, ya, tidak terlalu mengejutkan karena anak-anak kecil tidak tahu apa yang mereka inginkan.

J:         Mengapa anda katakan, anak-anak kecil tidak tahu apa yang mereka inginkan? Siapa gerangan misalnya, salah seorang dari anak-anak kecil itu? Une ‘Clarification, s’il vous plait!

M.M:  Saya katakan demikian karena saya ingat akan Yesus Kecil. Dialah yang membentangkan saya pada sebuah bingkai penderitaan agar Dia menyulam saya. Sesuka hatiNya! Tapi Dia melepas saya. Maksudnya, di Surga, karya tanganNya yang indah akan Ia perlihatkan kepada para penghuninya. Bukan, Yesus Kecil Pencurinya, melainkan Allah Yang Besar.

J:         Anda amat dekat dengan kakak anda Pauline Martin. Nampaknya, anda sangat mencintai dia. Tentu anda pasti mencintai Marie dan Celine juga. Empat bersaudara kandung di komunitas Karmel Lisieux.

M.M:  Pauline saya panggil: ma petite Mamman, ma belle petite Mamman, ibunda kecil, ibunda kecilku nan cantik: berhidung panjang dan mancung. Dialah telepon saya. Tinggal pasang telinga pada gagang telepon, dan dalam sekejap semua saya ketahui. Dia terlalu sayang pada saya, sehingga penilaiannya tentang saya kurang objektif. Apapun yang terjadi, rasanya saya selalu ingin ada bersama dia. Elle est ma lumiere. Dia matahariku! Tak bisa saya bayangkan harus buat apa saya di Surga tanpa dia. Di Surga saya merayu-rayu Tuhan untuk memberi Pauline segala yang terbaik. Semua barang di Surga pasti akan hilang. Untuk Pauline – segalanya.

J:         Sembilan belas hari sebelum wafat anda, tepatnya 11 September 1897, anda ekspresikan kasih sayang anda kepada Pauline. Ekspresi verbal. Saya ingin dengar lagi. Boleh?

M.M:      “Saya sangat sayang padamu, tapi sangat! Bila saya dengar pintu dibuka, saya selalu yakin andalah yang datang. Namun apabila anda tidak datang, sangat sedilah saya. Kecuplah saya dengan kecupan bibir yang berbunyi. Hanya di Surgalah anda akan tahu, betapa hebat dan besar arti anda bagi saya. Anda adalah sebuah kidung, sebuah tembang dendang, lebih hebat dari sebuah box musik, bahkan bila anda tak mengatakan sesuatu pun kepada saya. 

J:         Terakhir. Tolong beri kami kata-kata affirmasi, animasi, support, apapun istilahnya, peneguhan, begitulah kira-kira. Anda kan di Surga.

M.M:  Saya ingat, keponakan kecil Soeur – Elisabeth, ketika berkunjung ke ruang tamu komunitas Karmel Lisieux. Ia berdiri di depan trali ruang tamu, dan anda tahu, setelah meresitasi puisinya, ia menunduk, mengangkat lengannya dan berkata: “Kebahagiaan untuk semua orang yang saya cintai”.
                   Saat saya masuk, Tuhan bertanya; “Puteri kecilKu, Therese Martin, apa yang kau inginkan?”. Kujawab: “Kebahagiaan untuk semua orang yang saya cintai”. Kata-kata yang sama saya ucapkan di hadapan para kudus Karmel – Teresa de Ahumada, Yuan de Yepes y Alvarez, Caterina (Maddalena) de Pazzi, Francoice d’Amboise, Ana Margareta Redi, 16 Martir Karmel ‘Compiegne saat Revolusi Perancis, Jean de Saint Samson, Alberto de Trapani, Bartolomeo Fanti, Giovanna Scopeli – “KEBAHAGIAAN UNTUK SEMUA ORANG YANG SAYA CINTAI”, semua karmelit di seantero bumi.
                   Spesial novis-novis di Flores, Jawa, Philipina, Timor Leste, Afrika, India, Papua Nugini, di mana saja, agar senantiasa kecil, rendah hati, setia, pendoa, tahan banting. Todo y nada, anijlilacion.


J:         Merci beaucoup!

M.M:  Gratias tibi ago! Nos cum prole pia, benedicat Virgo Maria!



Kamis, 19 Januari 2012

KOMITMEN KARMEL INDONESIA TIMUR


JAWABAN ANGGGOTA ORDO KARMEL KOMISARIAT INDONESIA TIMUR
ATAS SURAT PROVINSIAL PERIHAL PEMAHAMAN TENTANG KOMISARIAT


1. Alasan membentuk Komisariat Jenderal:
a. Yuridis Konstitusional
Konstitusi Ordo Karmel memberikan kemungkinan untuk mendirikan Komisariat  Jenderal Provinsi baru (bdk. Konst.180 #2; 177 #1; 183; 181 #1).
Komisariat Provinsi Ordo Karmel Indonesia Timur memandang pendirian Komisariat Jenderal atau bahkan Provinsi Ordo Karmel Indonesia Timur sebagai tanda perkembangan atau pertumbuhan sebagaimana alasan untuk hal ini digariskan juga oleh Konstitusi Ordo Karmel bahwa Ordo Karmel membagikan wilayah menjadi provinsi, komisariat provinsi, komisariat jenderal
b. Hasil studi kelayakan bersama utusan resmi Dewan Provinsi:

MENUJU KOMISARIAT JENDRAL INDONESIA TIMUR

            Rumah Kanonik: Komisariat “Titus Brandsma” Indonesia Timur sudah memiliki Komunitas-Komunitas, baik komunitas formasi maupun komunitas karya yang akan dijadikan sebagai Rumah Kanonik. Biara Formasi: 1) Biara Karmel / Novisiat “St. Teresia dari Lisieux”, Weruoret, Nita; 2) Biara Karmel “Beato Dionysius dan Redemptus, Wairklau, Maumere; dan 3) Biara Post Pastoral “Beato Redemtus” yang akan dibangun dan dijadikan Rumah Kanonik. Rumah Karya: 1) Komunitas “St. Elia”, Mageria, 2) Komunitas Seminari Karmel KPA “St. Paulus”, Mataloko, 3) Komunitas “St. Yosef”, Baturiti, Bedugul, Bali.

      ii.            Sumber Daya Manusia:
a) Studi lanjut: untuk meningkatkan kualitas hidup dan karya pelayanan, Komisariat Intim mempersiapkan orang-orang untuk studi lanjut, baik dalam maupun luar negeri, baik dengan mendapatkan gelar maupun non-gelar.
Catatan: Yang saat ini sedang studi: Rm. Yonas Kaki (Napoli), Rm. Agustinus Audagtus Sota (Jerman), Rm. Dominikus Dinong (Roma). Komisariat Intim terus memikirkan konfrater muda untuk juga studi lanjut dan dipersiapkan menjadi formator dan atau dosen serta tenaga ahli lainnya yang disiapkan untuk menangani sekolah-sekolah kita dan karya pelayanan dalam bidang spiritualitas. Komisariat Intim bertekad untuk menjadi rumah-rumah mereka sebagai pusat doa, devosi dan pendalaman spiritualitas.

b) On-going formation: Komisariat Intim juga memikirkan untuk mengirim konfrater yang sudah lama berkarya dan membutuhkan penyegaran dengan mengikuti kursus-kursus dan penyegaran rohani, baik dalam negeri maupun luar negeri, dengan mengingat keuangan Ordo.

    iii.            Jumlah Anggota Komisariat Indonesia Timur: anggota tetap sudah berjumlah lebih dari 47 orang, dengan perincian: 1) formasi - kaul kekal 2) karya formasi; 3) karya parokial; 4) karya persekolahan; 5) karya rumah retret; 6) studi lanjut; 7) bekerja di luar Komisariat Intim: Sumatera, Jawa, Sumba dan Papua

   iv.            Bidang Karya: 1) formasi (3, bakal menjadi 4); 2) Paroki (3, bakal menjadi 4); 3) Rumah Retret (2); 4) Pertapaan (1); 5) Sekolah (1 PAUD, 1 TK, 1 SMP, 1 SMA, 1 UT); 6) Misi ke luar negeri: Australia (1), Peru (1, Januari 2012 akan berangkat). Komisariat Indonesia Timur berkomitmen menyumbangkan tenaga untuk misi luar negeri; 7) Misi domestik:  siap memberikan bantuan, misalnya ke Sumatera dan tempat-tempat lain.

     v.            Kemandirian Dana: 1) Komisariat mulai mengembangkan komunitas-komunitas untuk mandiri. Kecuali Rumah Formasi, komunitas yang ada sudah mandiri, tidak ada lagi dapat subsidi dari Komisariat. 2) Penggalangan Dana Abadi Pendidikan, Dana Abadi Kesehatan – Hari Tua, antara lain setiap anggota Komisariat wajib memberikan sumbangan baik lewat komunitas maupun  perseorangan.

   vi.            Komunitas Yang Berdoa: Komisariat Indonesia Timur bertekad dengan membangun komunitas-komunitas yang ada menjadi komunitas yang berdoa, dan mengajak / melibatkan umat sekitar untuk berdoa. Secara konkret, Komisariat Intim menetapkan beberapa Hari Raya atau Pesta untuk menjadi hari-hari doa/novena Komisariat dan atau Komunitas. 1) Komisariat: Novena SPM dari Gunung Karmel (HR Ordo) dan Triduum Beato Titus Brandsma (Pelindung Komisariat). 2) Komunitas: Novena St. Teresia dari Lisieux (Novisiat Weruoret), Triduum Beato Dionysius (Wairklau), Triduum Beato Redemptus (Weruoret – Post Pastoral), Triduum St. Paulus (Mataloko), Triduum Nabi Elia (Mageria), Novena Salib Suci (Mauloo), Novena St. Yosef (Bedugul, Bali).


 vii.            Forum Karmel: Komisariat Intim akan mencoba membentuk Forum Karmel, dengan beranggotakan orang-orang (imam/biarawan dan biarawati serta awam) yang berminat dan menaruh perhatian kepada Spiritualitas Karmel, dengan mengadakan studi pribadi dan bersama, lalu membagikan kepada orang lain (Familia Carmelitana atau biarawan/wati dan umat), berupa mengadakan hari studi (atau penyegaran atau semi retret) dan menerbitkan dalam bentuk buku.

c. Pendasaran Misi Kerasulan:
                                i.            Wajah Karmel berbeda (dengan satu charisma) (bdk. Konst. 91 dan 92)
                              ii.            Penanganan dan pengolahan situasi konkrit di wilayah (bdk. Konst. 97 dan 98)
                            iii.            Mendekatkan pelayanan (bdk. Konst. 94, 95, 96)
                           iv.            Jawaban amanat Konstitusi Ordo tentang misi karmel (bdk. Konst. 91-96)

                 v.     Bertambahnya jumlah anggota Ordo Karmel Komisariat Indonesia Timur sebagai tanda pertumbuhan Ordo Karmel yang memungkinkan pengembangan atau pendirian Komisariat Jenderal atau Provinsi baru (bdk. Konst. 181 #1)
                         vi.          Perkembangan Ordo Karmel pada umumnya dan Provinsi Karmel Indonesia pada khususnya akan menjadi lebih baik lagi dengan memperhatikan geografi Indonesia yang demikian luas (alasan geografis)

2. Berdasarkan pendasaran di atas, maka kami sebagai komisariat memandang bahwa pendirian Komisariat Jendral sebagaimana tertuang dalam Keputusan Kapitel 2009 merupakan pilihan dan keputusan bersama (bdk. Konvensi Komit Bali 2009) dan kini ditegaskan kembali dalam Konvensi di Mageria 2011 bahwa jalan ini merupakan jalan terbaik. 

3. Peluang dan Tantangan:
A.    Peluang:
                                  i.            Hasil Studi Kelayakan
B.     Tantangan:
                                i.            Biaya pendidikan para frater studen.
Ordo Karmel Komisariat Indonesia Timur melihat bahwa tantangan terbesar untuk mewujudkan komitmen bersama menjadi Komisariat Jenderal atau bahkan langsung menjadi Provinsi Ordo Karmel Indonesia Timur adalah kemandirian dana pendidikan.
                              ii.            Langkah-langkah untuk menjawab tantangan di bidang ini:
a.     Mengembangkan unit-unit usaha mandiri yang ada.
b.     Meningkatkan partisipasi donasi dari berbagai pihak
c.      Membangun jaringan kerjasama dengan provinsi-provinsi lain
d.     Membangun komunikasi intensif dengan Jenderal dan Konsiliarius Jenderal untuk Asia, Australia dan Oceania terutama berkaitan dengan komitmen Karmel Komisariat Indonesia Timur menjadi Komisariat Jenderal.
4. Komitmen Keanggotaan:
“Setelah diberi kesempatan kepada masing-masing peserta Konvensi Mageria 2011 untuk mengungkapkan komitmennya, maka ditegaskan sekaligus diputuskan bahwa semua peserta menyatakan kehendaknya untuk tidak mengubah status keanggotaan Komisariat”





Rabu, 18 Januari 2012

SKAPULIR KARMEL

Asks Mother Mary to Wrap Us in Her Mantle

scapular.jpg
CASTEL GANDOLFO, Italy, JULY 17, 2011- Benedict XVI today noted that the scapular is a "particular sign of union with Jesus and Mary."
The Pope commented on the use of this devotion when he addressed Polish-speaking pilgrims gathered at the papal summer residence in Castel Gandolfo to pray the midday Angelus.
Saturday was the feast of Our Lady of Mount Carmel, the feast to which the scapular is linked. Simon Stock, general superior of the Carmelite Order, received the scapular in 1251, during an apparition of the Virgin, when she promised special assistance in life and in death to all those who wear it with devotion.
The word scapular originally referred to a form of clothing, which monks wore when they were working. The scapular came to symbolize Carmelite devotion to Mary; the devotion developed over time so that today, the scapular has various forms. 
Benedict XVI referred to wearing the scapular as a "particular sign of union with Jesus and Mary."
"For those who wear it, it is a sign of filial abandonment to the protection of the Immaculate Virgin," he said. "In our battle against evil, may Mary our Mother wrap us in her mantle."
The Holy Father's praise of the scapular while he was greeting the Polish pilgrims brings to mind his predecessor's own devotion to the scapular.
Blessed John Paul II spoke about the sign on the feast of Our Lady of Mount Carmel in 2003. The Polish Pontiff said: "Even I, from my youngest days, have worn around my neck the scapular of Our Lady and I take refuge with trust under the mantle of the Blessed Virgin Mary, Mother of Jesus."

Calendar

Selasa, 17 Januari 2012

BERTOLAK KE SEBERANG

 
MARI BERTOLAK KE SEBERANG
Sebuah Refleksi Atas Pertemuan Para Karmelit Komisariat Indonesia Timur
Bersama Prior Jendral Ordo Karmel

P. Inno, O.Carm
1.            Kisah  Awal
Sabtu, 30 Januari 2010, saat para frater dan umat yang hadir pada perayaan Ekaristi pagi itu khusuk berdoa, tiba-tiba seorang ibu melangkah dengan pasti menuju altar sambil menjunjung tas pakaiannya. Pada tangannya tergenggam satu batang lilin bernyala. Ia meletakkan semua barang-barang kepunyaannya di atas meja altar. Persis saat itu liturgi persembahan. Semua mata berubah arah tertuju pada pemandangan unik dan tidak biasa itu. Semua sepakat bahwa itu mengganggu. Satu gerakan alis mata yang memberi komando pun dimengerti untuk mengamankan situasi tak biasa ini. Dua frater berbadan kekar maju langsung mengangkat barang-barang persembahannya dan memindahkan ke belakang. Rasa haru dan kecewa terlihat meliputi wajah ibu berkerudung merah ini. Namun rupanya tak sanggup ia mengadu protes di depan altar itu. Ekaristi berjalan terus. Tiba-tiba rasa harunya pun makin menjadi-jadi hingga terdengar isak tangis. Ia berlutut sambil sesekali mengatur kembali kerudung merahnya.
2.            Antara Cerita dan Makna
Makna sebuah peristiwa tergantung dari subyek pemberi makna. Entah kenapa saya sangat yakin bahwa obyektivitas sebuah makna tidak perlu diragukan ketika isyarat sebuah makna tertuju pada sebuah kebenaran umum. Refleksi  tentang kisah kecil di atas memang lebih merupakan satu daya imajinasi pribadi yang coba menghubungkan antara peristiwa dan maknanya. Namun saya tetap berkeyakinan bahwa gaya refleksi teologi kontekstual  mesti menjadi  inspirasi bagi keberadaan kita para Karmelit  yang lebih dikenal dengan  orang-orang yang selalu bersemuka dengan Allah. Kita tidak cukup menjadi sadar bahwa Allah hadir secara transendens tetapi mesti juga berkeyakinan bahwa Allah hadir juga secara imanens.  Kedua cara hadir Allah ini pun belum tentu disadari secara tepat dan benar oleh semua orang beriman. Maka saya juga berkeyakinan bahwa Allah berbicara dalam berbagai peristiwa.  Allah berbicara dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Allah menyapa nurani  manusia agar menjadi peka dengan situasi sekitar. Allah memampukan kita untuk mendengar apa yang orang lain tidak dengar dan melihat apa yang orang lain tidak sanggup melihat. Dalam keyakinan kecil ini, saya memberanikan diri untuk coba merefleksikan peristiwa unik itu dalam hubungannya dengan cerita Injil tentang Yesus meredakan angin ribut. Refleksi ini akan memperlihatkan gagasan-gagasan yang lahir dari pertemuan bersama para imam Karmel di Komisariat Indonesia Timur dan pertemuan Komisariat bersama dengan Romo Jenderal.
3.            Hari Sudah Petang dan Visi Kebertolakan Yesus
Ajakan Yesus dalam perikop Injil Markus 4: 35 merupakan sebuah ajakan untuk  memasuki suatu era baru, yakni era perubahan. Apa alasan Yesus dan murid-murid-Nya bertolak ke seberang tidak dijelaskan cuma dikatakan waktu itu hari sudah petang lalu Yesus dan murid-murid-Nya meninggalkan orang banyak.
Refleksi terhadap peristiwa Yesus dan murid-murid-Nya  tidak akan pernah berhenti dengan satu cara pandang. Satu cara pandang yang dipakai akan menentukan arah tertentu yang menjadi fokus tertentu pula. Arah pencapaian ini selalu berkaitan dengan prioritas. Demikian pula prioritas akan ditopang karena telah membawa serta sejumlah nilai di dalamnya. Karena itu aspek penting yang mesti disoroti di sini adalah visi kebertolakan Yesus ke seberang. Penekanan aspek visi menjadi sangat penting ketika disadari bahwa alasan ‘hari sudah petang’ bukan menjadi alasan mendasar bagi Yesus dan murid-murid-Nya untuk bertolak ke seberang. Akan tetapi ketika kita coba menghubungkan aspek visi kebertolakan yang menjadi prioritas Yesus dan murid-murid-Nya di satu sisi dan relasi manusia dengan waktu yang diteropong dari kultur Indonesia Timur misalnya, maka akan ada satu nilai yang ada di sana, yakni nilai keberanian. Mengapa demikian? Konsep tentang waktu ‘hari sudah petang’ bisa membatalkan niat untuk melanjutkan perjalanan karena orang  cenderung memilih ramah tamah ‘bermalam’ ketimbang berani hati untuk terus berjalan. Terlihat di sini bahwa orientasi waktu, time orientation bisa menjadi sangat menentukan untuk sebuah gerakan perubahan. Logika sederhana yang kita pakai adalah jika waktu ‘hari sudah petang’ itu tidak menjadi alasan untuk mengurung niat untuk bertolak, maka kurun waktu yang singkat bisa mendatangkan satu situasi keterdesakan yang menuntut keberanian. Perubahan akan lebih cepat direalisasikan ketika orang menyadari perubahan sebagai satu pilihan mendasar, optio fundamentalis untuk keluar dari situasi keterdesakan. Namun kita tidak diminta untuk mencapainya tanpa proses. Tentu proses yang benar mesti dilalui dengan bijak sehingga kwalitas  dan identitas tetap jelas dan bukan sekedar memperbanyak jumlah.
4.  Membawa Yesus: Misi Kebertolakan Para Murid
Satu gerakan perubahan tidak akan mempunyai nama sebagai ‘gerakan perubahan’ tanpa ada yang melihat sesuatu yang memang bergerak, tanpa ada yang berpindah dan yang ditinggalkan. Meskipun demikian sebuah gerakan perubahan baru mempunyai nilai kalau gerakan itu membawa serta isi di dalamnya. Gerakan perubahan yang dimaknai sekarang adalah sebuah kebertolakan dengan satu muatan dasar di dalamnya.  Muatan dasar ini mesti menjadi prioritas saat orang bertanya mengapa perubahan ini mesti melewati proses meninggalkan yang lain. Yang lain ditinggalkan agar wadah yang ada ini mesti ditempati secara tepat dan benar oleh apa yang menjadi isi dari visi kebertolakan ini. Muatan dasar dalam perahu kebersamaan kita sebagai Ordo maupun Komisariat adalah Yesus. Sama seperti para murid ketika mereka bertolak, mereka membawa Yesus. Demikian juga kita para Karmelit saat kita bertolak menuju Komisariat Jenderal dan Provinsi, kita mesti membawa Yesus yang telah duduk untuk mengajar sehingga visi kebertolakan kita untuk mengikuti Yesus menjadi tetap jelas dalam persaudaraan kita sebagai Karmelit.
Misi kebertolakan para murid adalah misi bersama. Di dalam kebersamaan itu sudah diandaikan adanya tanggungjawab personal untuk memberikan energi yang ada dari masing-masing untuk bisa membawa Yesus. Para murid membawa Yesus dalam satu wadah kebersamaan. Karena itu gerakan perubahan ini merupakan gerakan bersama. Identitas dari misi kebertolakan Yesus mesti disadari oleh semua orang yang berada di dalam perahu kebersamaan ini. Mesti disadari bahwa kita tidak cukup mampu memange diri untuk setia dalam gerakan bersama ini. Karena itu, kita perlu waktu untuk merumuskan kembali orientasi hubungan dengan sesama yang menekankan kerjasama. Kerjasama baru menjadi nyata kalau kadar persembahan diri dalam persekutuan persaudaraan dalam Ordo Karmel menunjukkan kwalitas yang terpuji dan teruji dalam dapur realitas dunia ini. Gagasan persembahan diri terinspirasi dari kehadiran ibu dalam Ekaristi pada Sabtu, 30 Januari 2010. Benar bahwa kehadirannya waktu itu menyedot perhatian kami, akan tetapi perhatian kami waktu itu hanya tertuju pada keanehan yang terjadi saat itu. Ide persembahan diri memang ide aneh, akan tetapi ide ini bisa menjadi sangat urgen ketika kita berbicara tentang sebuah gerakan bersama. Sebuah gerakan bersama bisa terlihat dalam satu gerakan kaki yang sesuai dengan waktunya, Zeitgemass tanpa ada yang berusaha menarik kembali ke belakang. Persembahan diri mesti terlihat dalam komitmen total untuk mewujudkan cita-cita dan harapan bersama yang secara mendasar berjuang menjalankan jobs description yang sudah ada. Lebih dari itu, kita sama-sama berjuang untuk mewujudkan rencana dan prioritas bersama entah sebagai Ordo maupun sebagai Komisariat.

5.  Meninggalkan orang Banyak: sebuah Ide Pertumbuhan
Banyak orang yang melihat kisah perjalanan Yesus dan murid-murid-Nya menjadi tidak mengerti, mengapa Yesus begitu cepat meninggalkan satu tempat atau mengapa Yesus meninggalkan orang banyak. Secara sempit pemandangan Yesus meninggalkan orang banyak bisa melahirkan polemik dan bahkan bisa dituduh penabur ide separatis. Akan tetapi, satu pemandangan bisa diteropong dari berbagai sudut pandang dan dengan menggunakan lensa yang berbeda. Berdiri pada sudut pandang tertentu dan dengan menggunakan lensa tertentu akan mempengaruhi konsep tentang ruang tertentu yang telah diabstraksikan sebagai yang indah dan menjanjikan. Tentu saya menggunakan lensa Komisariat Indonesia Timur untuk membaca peristiwa Yesus ini.
Konsentrasi pewartaan Yesus memang Galilea, akan tetapi pada waktu tertentu konsentrasi Yesus menjadi meluas dan dinamis. Itu berarti gagasan konsentrasi mesti beralih ke mana misi Yesus itu diarahkan, di situlah konsentrasi-Nya berpijak. Dinamika konsentrasi pelayanan Yesus bertumbuh dari satu kerinduan mendasar yang telah menjadi doa-Nya sendiri: Ya Bapa, Aku mau supaya di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku, agar mereka memandang kemuliaan-Ku yang telah Engkau berikan kepada-Ku, sebab Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia dijadikan.” (Yoh 16: 24). Kerinduan Yesus ini dapat menjadi alasan mendasar atas pertanyaan mengapa konsentrasi Yesus tidak hanya di Galilea.  Yesus dengan segala kuasa yang telah dimiliki-Nya memerintahkan para murid-Nya untuk pergi dan menjadikan semua bangsa murid-Nya (bdk. Mat 28: 19). Terlihat jelas bahwa yang paling penting dari perintah Yesus ini bukan soal di mana atau tempat tertentu yang sudah diidolakan tetapi lebih pada penyebaran ke mana saja dengan tugas yang juga sudah jelas di dalamnya. Meninggalkan orang banyak dapat menjadi satu keputusan positip  bagi kita para Karmelit saat kita merindukan pertumbuhan dan penyebaran spiritualitas kita.
Meninggalkan orang banyak tidak dimengerti sama dengan mau menyembunyikan diri, tetapi satu kesempatan bagi kita untuk mulai mandiri. Mandiri berarti keluar dari rasa aman ketika kita ada di antara orang banyak di mana saya hampir tidak punya kesempatan untuk menunjukkan tanggung jawab. Karena itu, meninggalkan orang banyak selalu memiliki konsekuensi logis sesuai konteks Komisariat Karmel Indonesia Timur.  Konsekuensi logisnya adalah bahwa, pertama, setiap anggota Komisariat Karmel Indonesia Timur mesti berani menerima ‘rasa tidak aman’ karena diberi tugas dan tanggung jawab tertentu. Kedua, Setiap komunitas di Komisariat Karmel Indonesia Timur mesti lebih profesional menata perencanaan dan prioritas komunitas yang tentu punya konsekuensi pada dana. Ketiga, komunitas-komunitas perlu memikirkan secara lebih serius tentang usaha-usaha mandiri.

6.  Penutup
Mari kita bertolak ke seberang, memang pantas dijadikan tema permenungan kita para Karmelit. Tema ini menjadi pantas untuk direnungkan karena sebetulnya kita diajak oleh Tuhan Yesus untuk selalu keluar dari rasa aman yang telah kita pelihara menuju satu situasi baru yang tidak menentu namun membuat kita selalu yakin bahwa bersama Tuhan Yesus kita pasti tiba pada tujuan.