Rencana kunjungan Dewan Komisariat ke komunitas-komunitas
karya para Karmelit di Komisariat Indonesia Timur ini menjadi kenyataan yang
mengagumkan. Rabu, 26 Oktober 2011, Dewan Pimpinan Komisariat bertolak dari
Maumere menuju Munde, suatu desa di wilayah kecamatan Aesesa. Munde merupakan
suatu stasi dari wilayah pastoral paroki Danga, Mbai, Keuskupan Agung Ende. Di
awal perjalanan ini, kami hanya berharap bahwa kami bisa sampai Munde dan
bertemu Romo Fancy Bao. Tujuan kami cuma satu itu, kami mau berada bersama
konfrater dan melihat dari dekat serta mendengar langsung kisah-kisah
perjuangannya di tanah Munde. Sebagai orang baru yang belum pernah melihat
Munde, kami hanya punya bayangan setelah mendengar cerita orang. Kata orang
jalan menuju Munde itu cukup sulit, butuh kendaraan yang kuat. Banyak tanjakan
dan tikungan. Batu-batu lepas bertaburan di jalan. Kami punya keputusan sendiri
bahwa setelah makan malam kami akan mendaki menuju Munde. Suatu perjalanan
malam yang menyedot aneka perasaan. Ada rasa aman ketika berada dalam Hartop
merah. Namun, di pertengahan jalan, Hartop merah akhirnya terdiam tanpa banyak
raungan yang menghibur penumpangnya. Apa yang terjadi? Kami mesti mendorong
hartop itu bertiga dalam posisi mendaki. Saat itu saya ingat, kata Romo Jenti
di pastoran Danga, “kendaraan ini, kalau tiba-tiba mati mesinnya berarti kita
keringat”. Kata-kata itu menjadi kenyataan. Kami hanya sanggup mengubah
jarak 5 meter dari posisi awal macet.
Tak sanggup lagi mendorong lebih jauh. Syukur bahwa di saat sulit itu, kami
persis berada di tempat yang full signal. Kami meminta bantuan Romo Fanci dan
segenap pasukan padang gurunnya. Setengah jam kemudian, Romo Fanci tiba bersama
3 orang anggotanya. Bermodalkan tenaga 4 orang itu, kami sanggup mendorong dan
menghibupkan kembali mesin hartop itu. Sukacita besar meliputi hati kami.
Syukur kepadaMu Tuhan. Kami melanjutkan perjalanan dengan suasana hati yang
baru. Rm. Jhon pengendali Hartop itu berlari begitu kencang meski tanjakan dan
tikungan. Tak peduli. Katanya, “kuhajar, kuinjak!” Tiba-tiba saja Hartop
kembali terdiam dan kali ini sangat menegangkan karena kami terpaksa berjalan
mundur tanpa kendali dalam kegelapan. Oh malam gelap…., malam….. yang
mengagumkan dan menegangkan. Rupanya malam gelap itu tidak merupakan akhir dari
kisah anak manusia umumnya dan tidak merupakan akhir dari riwayat suatu jiwa.
Malam gelap itu mengagumkan saat kami harus menghadapi satu kenyataan yang
selalu jauh dari hidup kami, yakni suatu pertemuan jarak dekat dengan kematian.
Oh indahnya malam gelap…..aku dibiarkan untuk kembali berkisah tentang kuatnya
kasihMu untuk menahan keterlepasan kami dari kendali-kendali manusiawi yang
sering tak terkendalikan lagi. Oh Malam Gelap….malam yang menyadarkan bahwa di
jalan pendakian ini aku tak sanggup seorang diri. Aku butuh bimbingan dan
dorongan dari bawah dan tarikan dari Atas. Aku begitu lemah dan aku berharap
Engkau bisa menarikku sampai ke Puncak. Aku mengerti ternyata jalan menuju
puncak itu butuh keheningan. Aku mesti berjalan lebih pelan, setahap demi
setahap melintas cadas-cadas yang tak beraturan. Rona kegelapan itu hanya bisa
kutulis karena aku masih diberi waktu untuk hidup dari Sang HIDUP.
Di puncak pendakian itu, seluruh pandangan dan perhatian
kami disedot ke satu titip pemandangan yang begitu mempesona. Di satu hamparan
padang rumput, di bawah kaki deretan perbukitan, terlihat satu pondok
berdinding pelupu, beratap alang-alang. Pada keempat sudut diterangi
lampu-lampu yang berubah-ubah warnanya, merah, kuning, putih. Indah sekali. Itu
kesan pertama. Pondok Karmel Munde sungguh menjadi pondok inspirasi. Inspirasi
dalam banyak hal untuk ziarah hidup kita para Karmelit ini. Mungkin tak pernah
terpikirkan oleh Rm. Fanci. Namun tangan Tuhan terus menuntunnya. Jalan masuk
yang dibuatnya adalah dari material batu putih. Sungguh indah. Jalan ini adalah
jalan suci, kata Regula kita. Suatu jalan yang memungkinkan kita sampai pada
satu muara yang sejuk dan aman. Itulah
pesona inspiratif pondok Munde. Pondok kesejukan yang menerima semua orang
yang terkena hawa panas dunia dan bahkan terancam kering oleh kejamnya
persaingan dan aneka kompetisi dunia. Dunia kita adalah dunia yang panas. Panas
oleh karena aneka berita tentang ketidakadilan. Panas karena lapisan ozon kian
menipis. Panas karena bumi kehilangan hutan. Panas karena hawa pabrik dan
pertambangan. Panas karena iklim politik. Panas karena kehilangan kendali diri.
Pondok Munde adalah pondok kesejukan. Mari kita menyepi di sana.
Profisiat ya Rm. Fancy, Munde memang menjanjikan masa depan Karmel Indonesia Timur. Mari kita bangun pondok doa di sana biar banyak orang datang untuk menimba kehausan rohaninya di sana
BalasHapus