GALERY KARMEL INDONESIA TIMUR

GALERY KARMEL INDONESIA TIMUR
SETITIK AWAN DARI TIMUR

Kamis, 22 April 2010

Carmel Echo April

Carmel Echo
Media Komunikasi Komisariat Karmel Indonesia Timur
Sekretariat: Jl. Karmel Raya – Wairklau – Maumere
Tel (0382) 22142
E-mail: karmelindonesiatimur@yahoo.com



Penasihat: Romo Komisaris - Penanggung jawab : Dewan KOMIT - Penerbit : Inspirasi KOMIT St. Titus Brandsma


Mengapa Yesus Harus Menderita?
Padre Bertho, O.Carm*

Mengapa Yesus harus menderita dan mati agar dapat menghapus dan menebus dosa manusia? Pertanyaan ini dilontarkan seorang mahasiswa di ICR [Institutio De Sciencia Religioso] Timor Leste dalam suatu kesempatan rekoleksi bersama menyongsong hari raya Paska. Sebuah pertanyaan yang tidak mudah dijawab. Namun ada beberapa aspek yang patut kita lihat dan refleksikan mengapa Yesus harus menderita agar dapat menghapus dan menebus dosa manusia?
Pertama-tama kita memang harus melihat akar dosa manusia itu apa? Pada awal kehidupannya manusia memiliki suatu relasi yang sempurna dengan Allah. Manusia adalah citra Allah yang sejati dengan segudang kesempurnaan dan keindahan. Allah pun menerima manusia dalam persahabatan-Nya dan manusia menghayati persahabatan itu dalam ketaatan yang bebas kepada Allah. Hal ini tampak nyata dalam larangan memakan buah pohon terlarang “sebab pada waktu engkau memakannya, pastilah engkau mati’ [Kej 2:17]. Namun kebebasan ini disalahgunakan oleh manusia. Hawa memakan buah terlarang
itu dengan satu intrik jitu dari setan “kamu akan menjadi seperti Allah’ [Kej 3:5]. Dengan demikian sesungguhnya dosa adalah penyalahgunaan kebebasan yang diberikan Allah kepada manusia.
Pemberian kebebasan ini adalah ungkapan cinta Allah yang sangat murni kepada manusia. Tidak ada cinta yang membelenggu atau mengekang, sebaliknya cinta memberi kebebasan, menerima apa adanya dan pengorbanan yang luar biasa. Karena itu jalan penderitaan yang diambil oleh Yesus bahkan sampai mati di salib tidak lain-tidak bukan adalah, pertama, ungkapan cinta Allah yang begitu besar kepada manusia. Bahwa cinta Allah adalah cinta yang sejati, cinta yang memberi pengorbanan bahkan memberikan nyawa bagi mereka yang dicintai-Nya. Bukan cinta monyet, cinta palsu apalagi cinta duitan.
Kedua, jalan salib dan penderitaan yang dialami oleh Yesus adalah ungkapan solidaritas Allah dengan keadaan manusia. Jarang kita menemukan manusia solider dengan sesamanya yang menderita tetapi banyak yang mengambil bagian dalam kebahagiaan, kesuksesan sesamanya. Allah menunjukkan solidaritas-Nya dalam penderitaan agar manusia tahu dan mengerti bahwa Cinta Allah itu sungguh-sungguh asli. Allah tidak hanya senang dan ambil bagian dikala manusia senang tetapi Dia juga sedih dan susah tatkala manusia sedih dan susah. Inilah solidaritas yang sejati.
Ketiga, Yesus ingin memberi makna positif kepada penderitaan dan salib. Bahwa penderitaan yang kita alami sesungguhnya dapat menjadi positif tatkala penderitaan itu dihayati sebagai pengorbanan terhadap cinta. Selain itu penderitaan juga adalah ujian terhadap cinta. Penderitaan adalah jalan menemukan cinta sejati. Hal ini cocok dengan ungkapan yang sudah sangat populer di tengah masyarakat: berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian [bukan mati kemudian].
Maka Paska adalah perayaan kebangkitan Kristus tetapi juga adalah moment di mana kita merayakan kemenangan dan kesuksesan kita melawan penderitaan dan mengambil makna positif dari penderitaan itu. Paska artinya kita tidak boleh putus asa atas kegagalan, penderitaan dan kesusahan hidup yang kita alami. Yesus telah memberi contoh, Dia setia sampai mati pada penderitaan yang sulit dan akhirnya bangkit dalam kemuliaan. Paska artinya kita mesti berjuang dan memberi makna positif dan penderitaan yang kita alami karena dari padanya Allah ingin tahu seberapa besar cinta kita kepada-Nya. Dan Allah akan menganugerahkan kepada hamba-Nya yang setia, dua kali lipat dari semua yang telah hilang karena kestiaan kepada-Nya.
* Misionaris Carmel di Provinsi Australia dan Timor Leste.


The Silence Of God ---- “When Herod saw Jesus….
He plied him with questions,
but Jesus gave him no answer” [luke 23: 8-9]
Herod wanted an answer.
Herod, the mighty king
Thought he deserved an answer
From the Lord of everything.

But Herod’s heart was hardened
And Herod could not see
That the prisoner standing before him
Was the Lord of eternity.

Herod framed his questions
In the only way he knew –
as those of a king to his subject
From whom he expected his due.

But Herod was deaf to the question
The Lord was dying to ask,
“Who do you really think I am?
Before you take me to task.”

And so the Word stayed silent.
The Lord fought words with none,
showing that arrogant ruler
He was not his myrmidon

And God, who heard His silence
And could understand it all,
Can comprehend and share our grief
When we’re deaf to His silent call.

HIDUP DALAM KRISTUS


Pertama-tama, kita diberi tahu bahwa Allah Bapa membawa umat Kristen ke dalam persekutuan dengan diri-Nya, sebagai anak-anak dalam keluarga-Nya, melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, Anak Allah yang kekal. Seperti yang ditulis oleh Paulus, "Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus ... " (II Kor. 5:19). Oleh karena itu Anak Allah yang kekal itu mengambil rupa manusia. Yesus orang Nazaret, sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia, menyatakan Bapa kepada dunia. Orang-orang Kristen mula-mula memandang diri mereka sebagai orang-orang yang "oleh Dia ... percaya kepada Allah" (I Ptr. 1:21). Mereka menemukan hidup baru di dalam Yesus Kristus, dan bersatu dengan Allah yang hidup melalui Dia (Rm. 5:1).
Yesus berjanji bahwa dengan "dilahirkan kembali," manusia akan menemukan hubungan yang benar dengan Allah dan dengan selamat masuk dalam kerajaan Allah (Yoh. 3:5-16; 14:6). Orang-orang Kristen mula-mula itu memberitakan pesan sederhana tetapi mengejutkan tentang Yesus.
Setiap agama besar di dunia menyatakan bahwa "pendirinya" mempunyai wawasan yang khusus mengenai kebenaran-kebenaran abadi tentang kehidupan. Tetapi orang-orang Kristen menyatakan yang lebih jauh lagi, karena Yesus sendiri mengatakan kepada kita bahwa Dialah Kebenaran itu, bukan sekadar pengajar Kebenaran (Yoh. 14:6). Orang-orang Kristen abad pertama telah menolak agama-agama penyembah berhala dan berbagai filsafat masa itu untuk menerima Firman Allah yang datang dalam rupa manusia.