MARI BERTOLAK KE SEBERANG
Sebuah Refleksi Atas Pertemuan Para Karmelit Komisariat Indonesia Timur
Bersama Prior Jendral Ordo Karmel
P. Inno, O.Carm
1.
Kisah
Awal
Sabtu, 30
Januari 2010, saat para frater dan umat yang hadir pada perayaan Ekaristi pagi
itu khusuk berdoa, tiba-tiba seorang ibu melangkah dengan pasti menuju altar
sambil menjunjung tas pakaiannya. Pada tangannya tergenggam satu batang lilin
bernyala. Ia meletakkan semua barang-barang kepunyaannya di atas meja altar. Persis
saat itu liturgi persembahan.
Semua mata berubah arah tertuju pada pemandangan unik dan tidak biasa itu.
Semua sepakat bahwa itu mengganggu. Satu gerakan alis mata yang memberi komando
pun dimengerti untuk mengamankan situasi tak biasa ini. Dua frater berbadan
kekar maju langsung mengangkat barang-barang persembahannya dan memindahkan ke
belakang. Rasa haru dan kecewa terlihat meliputi wajah ibu berkerudung merah
ini. Namun rupanya tak sanggup ia mengadu protes di depan altar itu. Ekaristi
berjalan terus. Tiba-tiba rasa harunya pun makin menjadi-jadi hingga terdengar
isak tangis. Ia berlutut sambil sesekali mengatur kembali kerudung merahnya.
2.
Antara Cerita dan Makna
Makna sebuah peristiwa tergantung dari subyek pemberi makna. Entah
kenapa saya sangat yakin bahwa obyektivitas sebuah makna tidak perlu diragukan
ketika isyarat sebuah makna tertuju pada sebuah kebenaran umum. Refleksi tentang kisah kecil di atas memang lebih
merupakan satu daya imajinasi pribadi yang coba menghubungkan antara peristiwa dan maknanya. Namun saya tetap
berkeyakinan bahwa gaya refleksi teologi kontekstual mesti menjadi
inspirasi bagi keberadaan kita para Karmelit yang lebih dikenal dengan orang-orang yang selalu bersemuka dengan
Allah. Kita tidak cukup menjadi sadar bahwa Allah hadir secara transendens
tetapi mesti juga berkeyakinan bahwa Allah hadir juga secara imanens. Kedua cara hadir Allah ini pun belum tentu
disadari secara tepat dan benar oleh semua orang beriman. Maka saya juga berkeyakinan
bahwa Allah berbicara dalam berbagai peristiwa. Allah berbicara
dalam berbagai konteks kehidupan manusia. Allah menyapa nurani manusia agar menjadi peka dengan situasi
sekitar. Allah memampukan kita untuk mendengar apa yang orang lain tidak dengar
dan melihat apa yang orang lain tidak sanggup melihat. Dalam keyakinan kecil
ini, saya memberanikan diri untuk coba merefleksikan peristiwa unik itu dalam hubungannya dengan cerita Injil
tentang Yesus meredakan angin
ribut. Refleksi ini akan
memperlihatkan gagasan-gagasan yang lahir dari pertemuan bersama para imam
Karmel di Komisariat Indonesia Timur dan pertemuan Komisariat bersama dengan
Romo Jenderal.
3.
Hari
Sudah Petang dan Visi Kebertolakan Yesus
Ajakan Yesus dalam perikop Injil Markus 4: 35 merupakan sebuah
ajakan untuk memasuki suatu era baru,
yakni era perubahan. Apa alasan Yesus dan murid-murid-Nya bertolak ke seberang
tidak dijelaskan cuma dikatakan waktu itu
hari sudah petang lalu Yesus dan murid-murid-Nya meninggalkan orang banyak.
Refleksi terhadap peristiwa Yesus dan murid-murid-Nya tidak akan pernah berhenti dengan satu cara
pandang. Satu cara pandang yang dipakai akan menentukan arah tertentu yang
menjadi fokus tertentu pula. Arah pencapaian ini selalu berkaitan dengan
prioritas. Demikian pula prioritas akan ditopang karena telah membawa serta
sejumlah nilai di dalamnya. Karena itu aspek penting yang mesti disoroti di
sini adalah visi kebertolakan Yesus ke seberang. Penekanan aspek visi menjadi
sangat penting ketika disadari bahwa alasan ‘hari sudah petang’ bukan menjadi alasan
mendasar bagi Yesus dan murid-murid-Nya untuk bertolak ke seberang. Akan tetapi
ketika kita coba menghubungkan aspek visi kebertolakan yang menjadi prioritas
Yesus dan murid-murid-Nya di satu sisi dan relasi manusia dengan waktu yang
diteropong dari kultur Indonesia Timur misalnya, maka akan ada satu nilai yang
ada di sana, yakni nilai keberanian. Mengapa demikian? Konsep tentang waktu
‘hari sudah petang’ bisa membatalkan niat untuk melanjutkan perjalanan karena
orang cenderung memilih ramah tamah ‘bermalam’
ketimbang berani hati untuk terus berjalan. Terlihat di sini bahwa orientasi
waktu, time orientation bisa menjadi
sangat menentukan untuk sebuah gerakan perubahan. Logika sederhana yang kita
pakai adalah jika waktu ‘hari sudah petang’ itu tidak menjadi alasan untuk
mengurung niat untuk bertolak, maka kurun waktu yang singkat bisa mendatangkan
satu situasi keterdesakan yang menuntut keberanian. Perubahan akan lebih cepat
direalisasikan ketika orang menyadari perubahan sebagai satu pilihan mendasar, optio fundamentalis untuk keluar dari
situasi keterdesakan. Namun kita tidak diminta untuk mencapainya tanpa proses.
Tentu proses yang benar mesti dilalui dengan bijak sehingga kwalitas dan identitas tetap jelas dan bukan sekedar
memperbanyak jumlah.
4. Membawa Yesus: Misi Kebertolakan Para
Murid
Satu gerakan perubahan tidak
akan mempunyai nama sebagai ‘gerakan perubahan’ tanpa ada yang melihat sesuatu
yang memang bergerak, tanpa ada yang berpindah dan yang ditinggalkan. Meskipun
demikian sebuah gerakan perubahan baru mempunyai nilai kalau gerakan itu
membawa serta isi di dalamnya. Gerakan perubahan yang dimaknai sekarang adalah
sebuah kebertolakan dengan satu muatan dasar di dalamnya. Muatan dasar ini mesti menjadi prioritas saat
orang bertanya mengapa perubahan ini mesti melewati proses meninggalkan yang
lain. Yang lain ditinggalkan agar wadah yang ada ini mesti ditempati secara
tepat dan benar oleh apa yang menjadi isi dari visi kebertolakan ini. Muatan
dasar dalam perahu kebersamaan kita sebagai Ordo maupun Komisariat adalah
Yesus. Sama seperti para murid ketika mereka bertolak, mereka membawa Yesus.
Demikian juga kita para Karmelit saat kita bertolak menuju Komisariat Jenderal
dan Provinsi, kita mesti membawa Yesus yang telah duduk untuk mengajar sehingga
visi kebertolakan kita untuk mengikuti Yesus menjadi tetap jelas dalam
persaudaraan kita sebagai Karmelit.
Misi kebertolakan para murid
adalah misi bersama. Di dalam kebersamaan itu sudah diandaikan adanya
tanggungjawab personal untuk memberikan energi yang ada dari masing-masing
untuk bisa membawa Yesus. Para murid membawa Yesus dalam satu wadah
kebersamaan. Karena itu gerakan perubahan ini merupakan gerakan bersama.
Identitas dari misi kebertolakan Yesus mesti disadari oleh semua orang yang
berada di dalam perahu kebersamaan ini. Mesti disadari bahwa kita tidak cukup
mampu memange diri untuk setia dalam
gerakan bersama ini. Karena itu, kita perlu waktu untuk merumuskan kembali
orientasi hubungan dengan sesama yang menekankan kerjasama. Kerjasama baru menjadi
nyata kalau kadar persembahan diri dalam persekutuan persaudaraan dalam Ordo
Karmel menunjukkan kwalitas yang terpuji dan teruji dalam dapur realitas dunia
ini. Gagasan persembahan diri terinspirasi dari kehadiran ibu dalam Ekaristi
pada Sabtu, 30 Januari 2010. Benar bahwa kehadirannya waktu itu menyedot
perhatian kami, akan tetapi perhatian kami waktu itu hanya tertuju pada
keanehan yang terjadi saat itu. Ide persembahan diri memang ide aneh, akan
tetapi ide ini bisa menjadi sangat urgen ketika kita berbicara tentang sebuah
gerakan bersama. Sebuah gerakan bersama bisa terlihat dalam satu gerakan kaki
yang sesuai dengan waktunya, Zeitgemass tanpa
ada yang berusaha menarik kembali ke belakang. Persembahan diri mesti terlihat
dalam komitmen total untuk mewujudkan cita-cita dan harapan bersama yang secara
mendasar berjuang menjalankan jobs
description yang sudah ada. Lebih dari itu, kita sama-sama berjuang untuk
mewujudkan rencana dan prioritas bersama entah sebagai Ordo maupun sebagai
Komisariat.
5.
Meninggalkan
orang Banyak: sebuah Ide Pertumbuhan
Banyak orang yang melihat
kisah perjalanan Yesus dan murid-murid-Nya menjadi tidak mengerti, mengapa
Yesus begitu cepat meninggalkan satu tempat atau mengapa Yesus meninggalkan
orang banyak. Secara sempit pemandangan Yesus meninggalkan orang banyak bisa
melahirkan polemik dan bahkan bisa dituduh penabur ide separatis. Akan tetapi,
satu pemandangan bisa diteropong dari berbagai sudut pandang dan dengan
menggunakan lensa yang berbeda. Berdiri pada sudut pandang tertentu dan dengan
menggunakan lensa tertentu akan mempengaruhi konsep tentang ruang tertentu yang
telah diabstraksikan sebagai yang indah dan menjanjikan. Tentu saya menggunakan
lensa Komisariat Indonesia Timur untuk membaca peristiwa Yesus ini.
Konsentrasi pewartaan Yesus
memang Galilea, akan tetapi pada waktu tertentu konsentrasi Yesus menjadi
meluas dan dinamis. Itu berarti gagasan konsentrasi mesti beralih ke mana misi
Yesus itu diarahkan, di situlah konsentrasi-Nya berpijak. Dinamika konsentrasi
pelayanan Yesus bertumbuh dari satu kerinduan mendasar yang telah menjadi
doa-Nya sendiri: Ya Bapa, Aku mau supaya
di mana pun Aku berada, mereka juga berada bersama-sama dengan Aku, mereka yang
telah Engkau berikan kepada-Ku, agar mereka memandang kemuliaan-Ku yang telah
Engkau berikan kepada-Ku, sebab Engkau telah mengasihi Aku sebelum dunia
dijadikan.” (Yoh 16: 24). Kerinduan Yesus ini dapat menjadi alasan mendasar
atas pertanyaan mengapa konsentrasi Yesus tidak hanya di Galilea. Yesus dengan segala kuasa yang telah
dimiliki-Nya memerintahkan para murid-Nya untuk pergi dan menjadikan semua
bangsa murid-Nya (bdk. Mat 28: 19). Terlihat jelas bahwa yang paling penting
dari perintah Yesus ini bukan soal di
mana atau tempat tertentu yang sudah diidolakan tetapi
lebih pada penyebaran ke mana saja dengan tugas yang juga sudah jelas di
dalamnya. Meninggalkan orang banyak dapat menjadi satu keputusan positip bagi kita para Karmelit saat kita merindukan
pertumbuhan dan penyebaran spiritualitas kita.
Meninggalkan orang banyak
tidak dimengerti sama dengan mau menyembunyikan diri, tetapi satu kesempatan
bagi kita untuk mulai mandiri. Mandiri berarti keluar dari rasa aman ketika
kita ada di antara orang banyak di mana saya hampir tidak punya kesempatan
untuk menunjukkan tanggung jawab. Karena itu, meninggalkan orang banyak selalu
memiliki konsekuensi logis sesuai konteks Komisariat Karmel Indonesia
Timur. Konsekuensi logisnya adalah
bahwa, pertama, setiap anggota
Komisariat Karmel Indonesia Timur mesti berani menerima ‘rasa tidak aman’
karena diberi tugas dan tanggung jawab tertentu. Kedua, Setiap komunitas di Komisariat Karmel Indonesia Timur mesti
lebih profesional menata perencanaan dan prioritas komunitas yang tentu punya
konsekuensi pada dana. Ketiga, komunitas-komunitas
perlu memikirkan secara lebih serius tentang usaha-usaha mandiri.
6.
Penutup
Mari kita bertolak ke
seberang, memang pantas dijadikan tema permenungan kita para Karmelit. Tema ini
menjadi pantas untuk direnungkan karena sebetulnya kita diajak oleh Tuhan Yesus
untuk selalu keluar dari rasa aman yang telah kita pelihara menuju satu situasi
baru yang tidak menentu namun membuat kita selalu yakin bahwa bersama Tuhan
Yesus kita pasti tiba pada tujuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar